A.
Penyebab Kemunduran Islam
Mengkaji sebab-sebab kemunduran dan
kejatuhannya. Dengan begitu kita dapat mengambil pelajaran dan bahkan menguji
letak kelemahan, kekuatan, kemungkinan dan tantangan (SWOT). Kemunduran
suatu peradaban tidak dapat dikaitkan dengan satu atau dua faktor saja. Karena
peradaban adalah sebuah organisme yang sistemik, maka jatuh bangunnya suatu
perdaban juga bersifat sistemik. Artinya kelemahan pada salah satu organ atau
elemennya akan membawa dampak pada organ lainnya. Setidaknya antara satu faktor
dengan faktor lainnya – yang secara umum dibagi menjadi faktor eksternal dan
internal – berkaitan erat sekali. Untuk itu, akan dipaparkan faktor-faktor
ekternal terlebih dahulu dan kemudian faktor internalnya.
Untuk menjelaskan faktor penyebab
kemunduran umat Islam secara eksternal kita rujuk paparan al-Hassan yang secara
khusus menyoroti kasus kekhalifahan Turkey Uthmani, kekuatan Islam yang terus
bertahan hingga abad ke 20. Faktor-faktor tersebut adalah sbb:
a.
Faktor internal (ekologis)
Kondisi tanah di mana negara-negara Islam berada
adalah gersang, atau semi gersang, sehingga penduduknya tidak terkonsentrasi
pada suatu kawasan tertentu. Kondisi ekologis ini memaksa mereka untuk
bergantung kepada sungai-sungai besar, seperti Nil, Eufrat dan Tigris. Secara
agrikultural kondisi ekologis seperti ini menunjukkan kondisi yang miskin.
Kondisi ini juga rentan dari sisi pertahanan dari serangan luar. Faktor alam
yang cukup penting adalah Pertama, Negara-negara Islam seperti Mesir, Syria,
Iraq dan lain-lain mengalami berbagai bencana alam. Antara tahun 1066-1072 di
Mesir terjadi paceklik (krisis pangan) disebabkan oleh rusaknya pertanian
mereka. Demikian pula di tahun 1347-1349 terjadi wabah penyakit yang mematikan
di Mesir, Syria dan Iraq. Kedua, letak geografis yang rentan terhadap serangan
musuh. Iraq, Syria, Mesir merupakan target serangan luar yang terus menerus.
Sebab letak kawasan itu berada di antara Barat dan Timur dan sewaktu-waktu bisa
menjadi terget invasi pihak luar.
b.
Faktor eksternal.
Faktor eksternal yang berperan dalam kejatuhan
peradaban Islam adalah Perang Salib, yang terjadi dari 1096 hingga 1270, dan
serangan Mongol dari tahun 1220-1300an. “Perang Salib”, menurut Bernard Lewis,
“pada dasarnya merupakan pengalaman pertama imperialisme barat yang
ekspansionis, yang dimotivasi oleh tujuan materi dengan menggunakan agama
sebagai medium psikologisnya.” Sedangkan tentara Mongol menyerang negara-negara
Islam di Timur seperti Samarkand, Bukhara dan Khawarizm, dilanjutkan ke Persia
(1220-1221). Pada tahun 1258 Mongol berhasil merebut Baghdad dan diikuti dengan
serangan ke Syria dan Mesir. Dengan serangan Mongol maka kekhalifahan Abbasiyah
berakhir.
B.
Tokoh Pembaharuan Islam
1)
Muhammad Abduh
a.
Biografi Muhammad Abduh
Muhammad
Abduh lahir di Mahallah Nasr, suatu perkampungan agraris termasuk Mesir Hilir
di propinsi Gharbiyyah pada tahun 1849 M (1265 H) . ayahnya bernama Abduh bin
Hasan Chairullah berdarah Turki, sedangkan ibunya Junainah binti Utsman
al-kabir mempunyai silsilah keluarga besar keturunan Umar bin Khattab. Kedua orang
tua hidup dalam masa regim Muhammad Ali Pasha.
Muhammad
Abduh belajar mnulis dan membaca agar dapat membaca dan menghafal Al Quran.
Dalam tmpo 2 tahun Muhammad Abduh sudah dapat menghafal Al Quran. Kemudian ia
dikirim ke Tanta untuk belajar agama di Masjid Syekh Ahmad di tahun 1862. Stlah
2 tahun belajar bahasa arab, nahwu, sarf, fiqh dan sebagainya ia merasa tidak
mndapat apa-apa. Tentang pengalaman inin Abduh mengatakan “satu setengah
tahun saya belajar di Masjid Sykh Ahmad dengan tidak mengerti apapun. Ini
adalah karena metode nya salah, guru-guru mulai mengajar kita dengan menghafal
istilah-istilah tentang nahwu dn fiqh yang tidak kita mengerti artinya.
Guru-guru tidak merasa penting apa yang
kita mengerti atau tidak mengerti arti
istilah itu”. Karena tidak puas dengan metode mnghafal luar kepala Abduh
akhirnya meninggalkan pelajaran di Tanta.
Tahun
1865 pada usia 16 tahun Muhammad Abduh menikah. Baru menikah 40 hari, ia
dipaksa orang tuanya kembali belajar ke Tanta. Ia menunggalkan kampungnya tapi
tidak untuk pergi ke Tanta melainkan pergi kerumah pamannya. Dirumah pamannya
Syekh Darwisy, karena mengetahui keengganan Abduh untuk belajar maka pamannya
selalu membujuk supaya membaca buku. Setelah itu Abduh mulai mengerti apa yang
dibacanya dan ingin menegrti dan
mnegetahui lebih banyak. Akhirnya ia pergi ke Tanta untuk meneruskan pelajarannya.
Setelah
selesai belajar di Tanta, ia meneruskan studi ke Al-Azhar ditahun 1866. Saat
belajar di Al-Azhar disini Abduh pertama kalinya bertemu dengan Jamaludin
Al-Afghani. Ketika Abduh dan teman-temannya berkunjung ke penginapan Al-Afghani
memajukan prtanyaan-pertanyaan kepada mereka mengenai arti beberapa ayat Al
Quran. Kemudian ia berikan tafsirannya sndiri, perjumpaan ini terkesan baik
dalam diri Abduh. Ketika Al-Afghani datang pada tahu n 1871 untuk menetap di
Mesir, Abduh menjadi muridnya yang paling setia. Ia mulai belajar falsafah
dibawah pimpinan Al-Afghani. Dimasa ini Abduh mulai menulis karangan-karangan
untuk harian Al-Ahram.
Ditahun
1877 studinya selesai di Al-Azhar dengan mendapat gelar Alim. Ia mulai mengajar
prtama di Al-Azhar, kemudian di Dar Al-Ulum dan juga dirumahnya sendiri.
Diantara buku-buku yang diajarkannya ialah buku akhlak karangan Ibn Miskawaih,
Mukaddimah Ibn Khaldun dan sejarah kebudayaan Eropa karangan Guizot yang
diterjemahkan Al-Tahtawi kedalam bahasa Arab tahun 1857. Pada tahun 1879 Abduh
diangkat sebagai dosen tetap di Universitas Dar-al-Ulum dan Perguruan Bahasa
Khedevi. Mengajar ilmu kalam, sejarah, ilmu polotik dan kesusastraan Arab. Pada
tahun 1880 Abduh diangkat sebagai salah satu Redaktur surat kabar pemerintah
Al-Waqai al-Mishriyyah, kemudian menjadi Editor in Chief (ketua Redaktur). Abduh
juga memasukin gelanggang politik dan
aktif terlibat dalam Partai Nasional Mesir (Al-Hizb al-Wathan) yang didirikan
oleh Jamaluddin al-Afghani. Karena keikutsertaannya dalam partai hukuman
pengasingan ke luar negeri selama 3 tahun. Abduh juga menulis kitab syarah dan
komentar-komentar. Satu karya monumental yang dihasilkan selama dipengasingan
(Beirut) adalah buku Risalah al-Tauhid.
Tahun
1888 Abduh diperkenankan tinggal kembali di Mesir dan ia langsung diangkat
menjadi hakim. Tahun 1890 ia dipercaya sebagai penasehat hukum pada Mahkama
Agung yang berkedudukan di Cairo. Pada tanggal 15 Januari 1895 Khedevi Abbas
mengeluarkan surat keputusan pembentukan Dewan Pimpinan al_Azhar yang terdiri
kalangan Ulama, s
ementara
Abduh ditunjuk sebagai anggota yang mewakili pemerintah. Pengabdian puncaknnya
adalah ketika Abduh diangkat menjadi Mufti Besar sejak tanggal 3 Juni 1899
menggantikan Syeikh Hasunah al-Nadawi. Akhirnya setelah sakit beberapa lama
Abduh meninggal dunia pada 11 Juli 1905. Jenazahnya dikebumikan di pemakaman
negara Cairo
b.
Pemikiran Muhammad Abduh
Kepercayaan
pada kekuatan akal adalah dasar peradaban suatu bangsa. Akal terlepas dari
ikatan tradisi akan dapat memikirkan dan memperoleh jalan yang membawa pada
kemajuan. Pemikiran akallah yang menimbulkan ilmu pengetahuan.
Ilmu
pengetahuan modern yang banyak berdasar pada hukum alam(natural laws) tidak
bertentangan dengan islam yang sebenarnya. Hukum alam adalah ciptaan Tuhan dan
wahyu juga berasal dari Tuhan, karena keduanya berasal dari Tuhan maka ilmu
pengetahuan modern yang berdasar hukum alam dan islam sebenarnya berdasarkan
wahyu. Islam mesti sesuai dengan ilmu pengetahuan modern dan ilmu pengetahuan
modern mesti sesuai dengan islam.
Kepercayaan
pada kekuatan akal membuat Muhammad Abduh pada faham bahwa manusia mempunyai
kebebasan dalam kemauan dan perbuatan (free wiil and free act atau (Qadariah).
Faham ini dapat dilihat dari uraianya menegnai perbuatan manusia dalam Risalah
Al-Tauhid. Abduh menyebutkan bahwa manusia mewujudkan perbuatannya dengan
kemauan dan usahanya sendiri, dengan tidak melupakan bahwa diatasnya masih ada
kekuasaan yang lebih tinggi.
Sebagai
konskuensi dari pendapatnya bahwa umat islam harus mempelajari dan mementingkan
ilmu pengetahuan, umat islam harus pula mementingkan soal pendidikan.
Sekolah-sekolah modern perlu dibuka, dimana ilmu pengetahuan modern diajarkan
disamping pengetahuan agama.
Pemikiran
Muhammad Abduh mencakup berbagai segi inti :
a. segi politik
dan kebangsaan
b. sosial
c. keyakinan
d. pendidikan
dan pengajaran umum.
Pemikiran
Abduh menyangkut masalah nasional adalah tentang batas-batas negara, hubungan
dan rasa cinta warga terhadap negara. Dalam bukunya Abduh menulis,
“pada
dasarnya negara harus dicintai, sebab :
1.
ia tempat tinggal dimana terdapat makanan,warga dan seluruh keluarga
2.
ia w
adah
hak-hak dan kewajiban, itulah inti kehidupan politik dan merupakan kebutuhan nyata.
3.
ia tempat menisbahkan diri yang bisa mulia, terjajah atau terhina keadaannya
abstrak”[1]
Dalam
bidang sosial pemikiran Muhammad Abduh mencakup beberapa hal diantaranya
tentang jiwa kebersamaan, kepincangan
masyarakat dan ekonomi nasional. Menurut Abduh betapa pentinganya jiwa
kebersamaan umat untuk memperlemahkan jiwa individualisme dan separatisme.
Caranya dengan pendidikan sebenarnya yang didasarkan atas ajaran-ajaran agama
islam. Ilmu pengetahuan yang sebenarnya mengajarkan kepada manusia hubunngan
antara dirinya dan orang lain, sehingga manusia mengetahuan siapa dia, siapa
berssamanya, sehingga satu perasaan dan satu ikatan itulah persatuan.
Dibidang
keyakinan (akidah), Muhammad Abduh membahas dua tema pokok , yakni :
1.
pembebasan kaum muslimin dari akibat kaum Jabariyah
2.
pemeberian pngertian kepada mereka bahwa akal adalah nikmat dari Allah dan
harus selaras dengan agama dan Risalah-Nya bagi manusia. Melalaikan kemampuan
akal berarti menutup mata dari nikmat Allah.
Muhammad
Abduh berpendapat sikap fanatik terhadap berbagai madzhab dan buku-buku yang
ada secara mutlak, tidak hanya berkaitan erat dengan kelemahan kepribadian dan
ilmu pengetahuan umat islam waktu itu, sehingga tidak selaras dngan kitabullah
dan sunnah Rasul.
“Keyakinan
kita, agama islam adalah agama dengan akidah tauhid (monoteisme) bukan
politeisme. Tinganya adalah wahyu dan penopangnya akal. Selain itu adalah
motivasi setan atau nafsu para pemimpin”[2].
Sedangkan
pemikiran Muhammad Abduh dibidang pendidikan dan pengajaran umum mencakup
diantaranya :
1.
perlawanan terhadap taklid dan kemadzhaban
2.
perlawanan terhadap buku-buku yang tendensius untuk diperbaiki dan dissuaikan
dengan pemikiran rasional dan historis.
3.
reformasi Al-Azhar yang merupaka jantung umat islam, jika rusak maka maka
rusaklah umat dan jika baik maka baiklah umat.
4.menghidupkan
kembali buku-buku lama untuk mengenal intelektualitisme islam yang ada dalam
sejarah umatnya, serta mengikuti pendapat-pendapat yang benar disesuaikan
dengan kondisi yang ada.
Menurut
Abduh terpecahnya umat islam menjadi beberapa golongan disebabkan lemahnya
mereka sebagai satu umat yang kuat.
Adanya jurang pemisah antara ilmu kalam yang satu dengan lainnya, bahkan
perpecahan antara ahli kalam dengan ahli filsafat. Juga terdapat jurang pemisah
antara ahlui fiqh yakni adanya brbagai madzhab dalam hal mua’malah bersama
manusia dan ibadah kepada Allah, dimana mereka saling bertentangan. Hal ini
dapat kita dapatkan dalam buku-buku fiqh mutakhir..
Abduh
meletakkan prinsip-prinsip dasar untuk penulisan modern, dan menggambarkan
sisitematika penafsiran Al-Quran. Prinsip itu ada dalam karangannya Risalah
Tauhid dan dalam tafsirannya terhadap kitabullah. Sistematika penafsiran yang
dikemukakan Abduh berdasarkan kepada prinsip-prinsip :
a)
Menyesuaikan
peristiwa-peristiwa yang ada pada masanya dengan nash-nash Al-Quran, baik
dengan memperluas arti nash maupun
analogi.
b)
Menganggap
Al-quran sebagai satu kesatuan yang utuh. Tidak boleh beriman kepada sebagaian
dan meninggalkan sebagaiaan yang lain. Memahami bagiannya tergantung kepada
pemahaman kepada sluruh isinya.
c)
Menganggap
surat sebagai daasar untuk memahami ayat-ayatnya. Senagkan sub-sub dasar untuk
memahami nash-nash yang ada didalamnya.
d)
Bahasa
ynag dibuat-buat harus dijauhkan dalam penafsiran alquran, sebab tafsir bukan
untuk melatih kemampuan bahasa.
e)
Tak
boleh melalaikan peristiwa sejarah dalam perjalanan dakwah islam untuk
penafsiran ayat-ayat yang turun pada waktunya.
Dengan sisitem penafsiran tersebut muhammad Abduh tidak hanya
memberikan penghormatan dan penghargaan kepada alquran. Bahkan ia telah
membentuk cakrawala baru bagi kehidupan umat islam.
c.
Pengaruh Muhammad Abduh
Pendapat
dan ajaran Muhammad Abduh banyak mempengaruhi dunia islam pada umumnya terutama
didunnia Arab melalui karangan-karangan Muhammad Abduh sendiri dan melalui
tulisan-tulisan muridnya seperti
Muhammad Rida dengan majalah Al- Manar dan Tafsir Al-manar, Kasim Amin
dengan buku Tahrim Al-ma’rah, Faris Wajdi dengan Dairah Al-Ma’arif dan
karangan-karangan lainnya.
2)
Sayyid Ahmad Khan
a)
Biografi Sayyid Ahmad Khan
Sayyid Ahmad Khan lahir di Delhi pada tahun 1817 dan menurut
keterangan berasal dari keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad melalui Fatimah
dan Ali. Neneknya, Sayyid Hadi, adalah pembesar istana di zaman Alamghir II
(1754-1759). Ia mendapat didikan tradisional dalam pengetahuan agama dan
disamping Bahasa Arab ia juga belajar Bahasa Persia. Ia orang yang rajin
membaca dan banyak memperluas pengetahuan dengan membaca buku dalam berbagai
bidang ilmu pengetahuan. Ayah nya bernama Mir Muttaqi adalah seorang pemimpin
agama, tetapi karena keturunan Sayyid maka ia juga memperoleh pengaruh besar
dan juga sangat dihormati oleh raja Mughal pada waktu itu, Akbar Syah II.
Sayyid Ahmad Khan menganut paham mu’tazilah.
Pada waktu Sayyid
Ahmad Khan mulai besar sampai pada umur masuk sekolah, pertama-tama ia dibawa
kepada Syaikh Ghulam Ali, yang mengajarnya huruf Arab. Pada waktu kecilnya
Sayyid Ahmad Khan sering kali dibawa oleh ayahnya kepada Syaikh Ghulam Ali
dengan menunjukkan kecintaan yang mendalam kepadanya dan dengan gembira
bermain-main dengan segala kelucuannya. Dalam suasana yang sangat agamis Sayyid
Ahmad Khan tumbuh dengan sangat taat pada agama yang menandai selama hidupnya.
Untuk pemahamannya secara mendalam tentang masalah-masalah kenegaraan dan
hubungan pertamanya dengan pengetahuan dan peradaban Barat, ia berhutang budi
pada kakek dari pihak ibunya, Khwaja Fariduddin, yang selama delapan tahun
menjadi Perdana Menteri di Istana Mughal. Ia merupakan ahli matematika yang
paling terkemuka di antara orang-orang Muslim India pada waktu itu, dan juga
sangat memahami masalah-masalah kenegaraan. Khwaja Fariduddin meninggal dunia
waktu Sayyid Ahmad Khan masih anak-anak. Tetapi pengaruh yang ia tanamkan dalam
bentuk adat kebiasaan dan watak cucu yang cemerlang itu bukanlah kecil. Karena
Bapak Sayyid Ahmad adalah seorang pemimpin agama, ia sendiri dan ibunya hidup
di rumah kakek dari pihak ibu, dan anak yang cerdik itu melihat dari dekat
kehidupan sehari-hari latar belakang sosial dan politik dari seorang Menteri
Mughal. Di kemudian hari, ia menulis Biografi Khwaja Fariduddin, yang bukan
hanya menunjukkan hormat yang luar biasa kepada kakeknya, tetapi juga sedikit
tersirat adanya suasana kebahagiaan, kedisiplinan dan kebersihan di masa Sayyid
Ahmad Khan menghabiskan hari-hari kecilnya.
Masa kecil Sayyid Ahmad Khan dilalui dengan kesenangan dan
kecukupan, tetapi dengan wafatnya sang kakek, kekayaan keluarganya mulai
menurun. Pada 1838 ayahnya meninggal dan keuntungan hasil tanah yang
diperuntukkan baginya oleh pemerintah mulai hilang atau mulai dikurangi. Sayyid
Ahmad yang masih muda itu mulai mencari penghidupannya sendiri. Pertama-tama ia
harus puas mendapat pengangkatan sebagai juru tulis tingkat rendahan, tetapi
segera ia diangkat sebagai Munsif (Wakil Hakim), dan pada tahun 1841
ditempatkan sebagai Munsif di kota yang bersejarah Fatihpur Sikri.
Setelah kakek Sayyid Ahmad Khan meninggal, dan agar dapat
memperhatikan urusan-urusan keluarga, ia meminta untuk dipindahkan bekerja ke
Delhi, dan ia menetap di sana sejak tahun 1846 hingga 1854. Delapan tahun
itulah merupakan tahun-tahun yang sangat penting bagi kehidupan Sayid Ahmad
Khan. Pada waktu itu ia dapat menyelesaikan pendidikannya, disamping itu juga
dapat melihat tidak sekedar khayalan kabur dari anak-anak, tetapi dengan
pandangan dewasa dari pemuda yang sedang tumbuh.
Karya sastra yang paling pertama dan
besar dari Sayyid Ahmad Khan adalah
pujian kepada kota Delhi – Asar-ul-Sanadid
atau “Peninggalan-peninggalan lama dari Delhi” yang diterbitkan pada 1847.
Sayyid Ahmad menulis uraian tentang gedung-gedung utama di dalam dan sekitar
Delhi. Penulis muda tersebut bukan merupakan ahli arkeologi yang terdidik, oleh
karena itu setelah pergantian abad, tulisan tersebut diungguli oleh
tulisan-tulisan yang lebih sistematis. Tetapi hingga sekarang pun ahli sejarah
merasa berhutang budi dan berterimakasih atas kerja yang merupakan pionir
tersebut, terutama karena bagian dari gedung-gedung yang digambarkan dalam buku
itu dihancurkan selama dan setelah Mutiny, dan kita hanya mengetahui itu semua
dengan perantaraan deskripsi yang ditinggalkan oleh Sayyid Ahmad Khan. Yang
sangat menarik adalah bab mengenai “Celebrities of Contemporary Delhi” (Kemegahan-kemegahan
kota Delhi kontemporer) yang sekalipun ditulis dalam gaya bicara yang pada
waktu itu populer di kalangan di kalangan penulis-penulis Persi dan Urdu,
barangkali karya ini merupakan tulisan yang paling bagus mengenai sastra,
kehidupan agama, dan seni di Delhi pra-Mutiny
Pada tahun 1857
Sayyid Ahmad Khan genap berusia 40 tahun. Diantara umur tersebut hampir 20
tahun lamanya ia bekerja di pengadilan dan terkenal sebagai pejabat negeri yang
adil dan cakap, disamping sangat memperhatikan kesejahteraan rakyat dan yang
menghabiskan waktu senggangnya dalam kegiatan ilmiah. Pada waktu itu kekacauan
politik besar terjadi, yang dimulai dengan pemberontakan dari beberapa kesatuan
Angkatan Darat India yang kemudian merambah pada penduduk sipil, dan itu menjadi
suatu kejadian yang tidak bisa dielakkan bagi rakyat biasa yang tunduk dan
patuh untuk berpihak pada konflik yang berdarah itu. Di masa “pemberontakan
1857” itu, ia banyak berusaha untuk mencegah terjadinya kekerasan dan dengan
demikian banyak menolong orang Inggris dari pembunuhan. Pihak Inggris
menganggap ia telah banyak berjasa bagi mereka dan ingin membalas jasanya,
tetapi hadiah yang dianugerahkan Inggris kepadanya ia tolak. Namun gelar Sir
yang kemudian diberikan kepadanya dapat ia terima. Hubungannya dengan pihak
Inggris menjadi baik dan ini ia pergunakan untuk kepentingan umat islam di
India.
Pada
tahun 1869 anak Sayyid Ahmad Khan, Sayyid Mahmud memperoleh beasiswa untuk
studi lebih tinggi di Universitas Cambridge, dan Sayyid Ahmad memutuskan untuk
menyertainya ke Inggris. Sebenarnya sudah lama ia ingin mengunjungi Inggris dan
mempelajari sendiri sumber-sumber kekuatan Inggris, dan rupa-rupanya kepergian
anaknya tersebut memberikan kesempatan paling baik untuk melaksanakan
keinginannya. Maka pada umur 52 tahun yang sebagian besar orang India merasa
bahwa mereka harus beristirahat, ia meninggalkan negerinya untuk suatu
perjalanan yang jauh lagi mahal pada waktu itu. Sayyid Ahmad menetap di Inggris
selama 17 bulan dan sibuk bekerja.
Pada akhir 1870 Sayyid Ahmad Khan kembali ke
India dan segera menerbitkan majalah Tahdzibul Akhlaq (Pembaharuan Sosial) yang
telah ia rencanakan dan bahkan sudah memperoleh alat cetak huruf blok pada
waktu ia berada di Inggris. Nomor pertama dari Tahdzibul Akhlaq terbit pada
tanggal 24 Desember 1870. Dengan majalah tersebut Sayid Ahmad memulai suatu
kampanye yang kuat untuk meningkatkan moral dan tingkah laku umat Muslim di
India.
Bersama-sama
dengan terbitnya Tahdzibul Akhlaq, Sayyid Ahmad juga mulai bekerja untuk menyiarkan
pendidikan modern. Pada tanggal 26 Desember 1870, di Benares ia mendirikan
“Society for the Educational Progress of Indian Muslims” (Himpunan untuk
Kemajuan Pendidikan Orang-orang Muslim India) yang telah menerima banyak
anjuran dan dipertimbangkan masak-masak, memutuskan untuk mulai mendirikan
perguruan tinggi “Anglo-Oriental College” dan memilih Aligarh sebagai pusatnya.
Satu
tahun setelah berdirinya Perguruan Tinggi tersebut, ia mulai menulis Tafsir
Al-Quran. Ia menghabiskan waktunya untuk penulisan ini, hingga akhirnya selesai
tujuh jilid besar. Tetapi sayang sekali ia meninggal dunia sebelum tugas
tersebut tuntas. Akhirnya Sayyid Ahmad sakit pada tanggal 24 Maret 1898, dan
dua hari kemudian dengan membaca Al-Quran ia meninggal dunia.
b)
Pemikiran Sayyid Ahmad Khan
1. Pemikiran keagamaan
Pemikiran
keagamaan Amad Khan bersifat puritan, sectarian dan apologetic. Sebaliknya pada
tahun 1857, berubah menjadi rasional dinamis dan pragmatis. Ia lebih konsen
dengan nilai-nilai moral dan sosial dari pada masalah yang tidak dimengerti
akal. Baginya sains dan teknologi dapat memperkuat keyakinan agama apabila
islam berdasarkan dialektika tidak tertantang dengan akal. Ahmad Khan
menjelaskan bahwa islam itu baru dapat dimengerti oleh penganutnya apabila
diwujudkan dengan praktek.
Ahmad
Khan melancarkan reformasi dibidang moral, soaial, dan akidah serta
praktek-praktek keagaman umat islam secara kritis dan rasional. Sumber ajaran
islam menurutnya hanya lah Al-Qur’an dan Hadist, sedangkan ijtihat, jima’ dan
qiyas tidak merupakan dasar islam yang absolut. Ia berkeyakinan umat islam
sekarang sudah mampu menafsirkan sesuai dengan kondisi tidak harus berpegang
teguh pada penafsiran jaman dahulu.
Dengan
kemajuan sains diabad ke 19, seorang muslim harus bisa mengetahui pesan Alquran
baik secara kiasan maupun tersurat. Oleh karenanya sebuah kajian serius tentang
ilmu eksakta seperti yang dikembangkan di Barat memperkuat keyakinannya bahwa
Alquran sebagai firman Allah dengan
hukum alam sebgai ketetapannya sudah pasti tidak terjadi pertentangan
dengan keduanya. Kepercayaan yang kuat dengan sunatullah ini dikecam oleh ulama
tradisionalis menuduhnya karfir.
2. Pemikiran sosial dan reformasi
Pemikiran
sosial Akhmad Khan erat hubungannya dengan pemikiran keagamaan, sangat modern
dan rasional. Hal ini terlihat dari konsepnya bahwa kemajuan bangsa Barat bukan
karna kristennya tapi kemajuaan itu diraih dengan kemampuan intelektual hingga
dpt dikembangkan sains dan teknologi, dan umat islampun mampu melakukannya.
Islam
sebagai agama monoteisme sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Ia
memberikan kebebasan kepada manusia menentukan kehendaknya sendiri asalkan
tidak melanggar hak-hak orang lain. Dalam kaitannya dengan kehidupan didunia
sangat dibutuhkan kerjasama antar manusia agar terwujud suatu keadaan yang
didambakan.
Agama
islam sangat toleran dan hormat kepada agama lain. Meskipun umat hindu dan
islam terdapat perbedaan-perbedaan dari segi akidah dan sosial. Hindu sebagai
mayoritas dan islam sebagai minoritas. Ahmad Khan mendekati Inggir dengan dua
pertimbangan. Pertama, kenyataan inggris sebagai negara kuat dan maju dalam
bidang sains dan teknologi dibanding umat islam di India. Kedua, dengan
mendekati Inggris banyak manfaat yang didapatnya, guna dijadikan modal untuk bangsanya.
Disamping islam dapat mengambil ilmu pengetahuan dari inggris untuk
mengembangkan diri menuju kemajuan kelak. Sikap loyal dan patuh ditunjukan oleh
Ahmad Khan ini merupakan refleksi dari kekagumannya pada kemajuaan Inggris.
Tanpa
ketinggian kecerdasan rakyat akan sulit membawa rakyat itu kegelanggang politik
dan sosial. Yang penting baginya tercapai kemajuan rakyat, baru kemudian diajak
bicara soal yang satu ini dan kemajuan ini tak kan tercapai melalui jalan
politik. Menurut Ahmad Khan umat islam itu harus merupakan satu negara yang
bebas dari pengaruh hindu agar proses kemajuannya berlangsung cepat. Cita-cita
ini baru tercapai setelah 90 tahun kemudian dengan lahirnya Republik Islam
Pakistan.
3. Pemikiran dibidang pendidikan dan sosial-keagamaan
Kontribusi
Ahmad Khan kepada masyarakat islam tidaklah terbatas pada usahanya mengadakan
perdamaiaan dengan penguasa Inggris. Ia telah memberikan sesuatu yang terbaik
untuk kesejahteraan bangsanya, pendidikan modern. Amad Khan dipandang sebagai
pelopor prndidikan modern bagi umat islam di India.
Pada
tahun 1869-1870 Amad Khan mengunjungi Inggris dan berkesempatan mempelajari
sistem pendidikan di Universitas Cambrige. Kunjungan ini dimaksudkan untuk
mempelajari cara pengelolahan istitut tinggi. Tahun 1874 ia telah selesai
merencanakan pendiriaan “Mohammadan Anglo Oriental Collage (MAOC) di Aligarh.
Lembaga ini dibentuk sesuai dengan model perguruaan tinggi Inggris dan bahasa
Inggris sebagai pengantarnya. Ilmu pengetahuan modern sebagai matakuliah pokok tanpa mengabaikan pendidikan agama. Bahkan
ketaatan menjalankan ibadah sangat diperhatikan, sekolah ini untuk umum dan
tidak eksklusif. Tujuan lembaga MAOC ialah menyebarluaskan pendidikan barat
dikalangan umat islam, mengevaluasi pendidikan agama yang diberikan sekolah
pemerintah serta menjunjung pendidikan agama yang diberikan disekolah swasta.
Ide-ide
Ahmad Khan yang lain adalah penolakan terhadap beberapa hukum islam yang tidak
relevan, seperti hukum potong tangan bagi pencuri, perbudakan dan poligami.
Tujuan utama doa adalah merasakan kehadiran Tuhan bukan untuk meminta sesuatu
dari Tuhan. Selain itu ia juga menyusun tafsir Alquran dalam tujuh jilid,
didalamnya ia memberikan penjelasan-penjelasan rasional mengenai
doktrin-doktrin agama.
Penutup
Kesimpulan
Kemunduran Islam berdampak pada kehidupan bangsa Islam itu sendiri.
Terdapat dua faktor kemunduran Islam
yaitu faktor internal
(ekologis) dan faktor eksternal. Dengan berbagai dampak kemunduran bagi umat
islam muncullah para tokoh pembaharuan pemikiran Islam. Tokoh yang merubah pola
pikir untuk kemajuan kembali umat Islam yaitu Muhammad Abduh dari Mesir dan
Sayyid Ahmad Khan dari India. Adapun pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad
Abduh adalah di bidang segi politik
dan kebangsaan, sosial, keyakinan, pendidikan dan pengajaran umum. Pembaharuan
yang dilakukan oleh Sayyid Ahmad Khan meliputi bidang pemikiran keagamaan,
pemikiran di bidang sosial dan reformasi, dan pemikiran dibidang pendidikan dan
sosial-keagamaan. Dengan adanya pembaharuan Islam diharapkan umat Islam bisa
bangkit kembali ke masa kejayaannya.
Dikatakan dalam pemikiran para tokoh pembaharu Islam bahwa sifat
manusia pada dasarnya tidak pasif, tetapi dinamis yang ynag mempunyai ruang
pikir luas yang dibatasi hanya oleh ajaran-ajaran dasar Alquran dan Hadis.
Sehingga tidak mengherankan kalau pemikiran mereka bercorak dinamis dan dasar
pemikiran dan teologinya dapat membawa umat Islam kepada kemajuan di zaman
pengetahuan dan teknologi modern ini.
Daftar
pustaka
1. Harun
nasution,1996, pembaharuan dalam islam sejarah pemikiran dan gerakan,bulan
bintang : jakarta
2. Ahmad amir
aziz,2009, pembaharuan teologi perspektif modernisme Muhammad Abduh dan
Noe-Modernisme Fazlur Rahman, Teras : Yogyakarta
3. Muhammad Al Bahiy,
1986, pemikiran islam modern, Pustaka panjimas: Jakarta.
4. ALI, A. Mukti, 1996,Alam Pikiran Islam
Modern di India dan
Pakistan, Mizan : Bandung.
5. Dr. M. Amin Rais,
1989, Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi
Masalah-Masalah, Raja Grafindo
Persada : Jakarta.
6. http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195504281988031-MAKHMUD_SYAFE'I/SAYYID_AHMAD_KHAN_DAN_PEMBAHARUANNYA.pdf di unduh pada
28 pukul 14.34 wib
No comments:
Post a Comment